Kamis, 15 Maret 2012

Diah Pitaloka (Resensi Buku)

Sumpah Palapa yang Tiada Terlaksana
Lamun huwus kalah Nusantara, ingsun amukti palapa, lamun kalah Ring Gurun, Ring Seram, Tanjungpura, Ring Haru, Ring Pahang, Dompo, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa!

Judul : Dyah Pitaloka
Pengarang : Hermawan Aksan
Penerbit : C Publishing
Halaman : viii + 328

Hari itu, tahun 1253 saka, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Kerajaan Majapahit menggantikan Arya Tadah. Ia bertekad menaklukkan seluruh kerajaan se-nusantara —bahkan sampai negeri seberang— di bawah kendali Majapahit dengan Sumpah Palapa-nya yang sangat terkenal. Sebelum mewujudkan cita-citanya, Gajah Mada bersumpah tidak akan memakan buah palapa (sebagai simbol kenikmatan dunia). Betapa baktinya ia pada negara!

Mungkin benar, tanpa jasa Mahapatih Gajah Mada rasanya sulit Majapahit menjadi kerajaan besar seperti saat itu. Majapahit yang dipimpin Tribhuwanatunggadewi —seorang wanita— bisa menguasai lebih dari tujuh bagian kepulauan penting yang terdiri dari beberapa kerajaan. Bahkan, banyak kerajaan-kerajaan kecil yang rela bergabung di bawah kendali Majapahit. Ketika banyak pemberontakan di negeri kecil pun, Gajah Mada-lah yang banyak menyelesaikannya. Maka tak heran karena jasanya, pantaslah jika ia mendapat posisi terhormat dalam pemerintahan.

Cita-cita Gajah Mada agaknya memang terlalu tinggi. Namun semuanya bukan halangan bagi seorang ksatria seperti dia. Barangsiapa yang menentang cita-cita luhur ini, maka nyawalah yang harus melayang. Akhirnya, wilayah Majapahit pun —yang dulunya hanya daerah Tarik yang kecil— menjadi wilayah luas dan banyak kerajaan yang ditaklukkannya.

Namun, rupanya ada yang terlupakan… Mahapatih Gajah Mada rupanya belum bisa menaklukan satu negeri di seberang Sungai Berantas, yang nota bene sebuah negeri kecil. Negeri itu mungkin masih merupakan negeri nenek moyang Raja Kertajasajayawardhana. Bagaimana mungkin ia dapat menaklukkan negeri yang telah lama berdiri, sedangkan Majapahit sendiri adalah negara yang baru beberapa tahun berdiri?

Jauh di Negeri Sunda sana, konon hiduplah seorang putri kerajaan yang cantik jelita. Dyah Pitaloka namanya. Kecantikannya sudah terdengar lamat-lamat dari Majapahit. Akhirnya, kabar itu pun terbukti nyata, setelah beberapa utusan yang bertugas melukis gadis-gadis sejagat untuk dijadikan pesangan sang raja melihat sendiri bagaimana eloknya gadis itu. Mereka terkagum-kagum oleh pancaran sinar yang keluar dari diri sang putri. Sang juru lukis ketika melukis dirinya yang memiliki keahlian pun dibuat ragu pada kemampuannya sendiri ketika melukiskan sosok sang putri. Saat itu memang dibuat sayembara untuk mencari istri bagi sang raja.

Pribadi Dyah pitaloka memang mengesankan. Sang pengarang tampak pandai betul mengambil angle yang bagus untuk sebuah cerita yang sudah usang. Saya yakin perjalanan Majapahit tidak banyak yang tahu —bahkan tidak peduli. Buku ini selain menceritakan perjalanan Dyah Pitaloka, sejatinya ingin menceritakan bagaimanakah sebuah kerajaan besar bernama Majapahit. Membaca bait-baitnya mengingatkan saya pada sandiwara radio yang dulu pernah menghiasi tanah air.

Sebagai seorang putri kerajaan Sunda, Dyah Potaloka tidak hanya bersenang-senang dengan lingkungan yang serba kecukupan. Mungkin agak anah, jika sang putri pun menimba ilmu kanuragan yang umumnya hanya dipelajari oleh lelaki. Justru ia malah menyukainya. Menurutnya, mempelajari ilmu kanuragan tidak mengurangi kecantikannya. Tidak hanya itu, kepribadian dan kepandaian sang putri sudah tampak dari raut wajahnya. Ia rajin belajar dengan membaca kitab-kitab kuno, dan berlama-lama di balai pustaka, karena dari sanalah wawasannya banyak bertambah. Ia pun juga telah mendengar tentang kerajaan yang besar bernama Majapahit itu.

Dan tidak salah lagi, Raja Hayam Wuruk —sebagai raja Majapahit— akhirnya dari lukisan sang juru lukis memilih Dyah Pitaloka sebagai calon istri. Namun, atas saran Mahapatih Gajah Mada, sang raja itu tidak langsung melamarnya. Gajah Mada menganggap terlalu rendah jika raja Majapahit yang memiliki sudah sangat besar harus merendahkan dirinya untuk sang putri dari Sunda. Terlebih ada sebuah cita-cita Gajah Mada untuk menjadikan Negeri Sunda sebagai takhlukan setelahnya.

Gajah Mada pun menggunakan kercerdikannya untuk mengakali bagaimanakah menikahkan Dyah Pitaloka dengan sang raja? Upetilah jawabannya. Sang putri dianggap sebagai upeti yang layak untuk kerajaan besar seperti Majapahit. Alih-alih menggunakan adat Sunda yang mempelai lelaki bersembah sujud kepada calon mertua, ini malah tidak.

Karena itulah, akhirnya terjadi pertentangan antara Negeri Sunda dengan Majapahit akibat ulah Gajah Mada yang sombong. Pertempuran pun tidak dapat dihindarkan. Banisora sang paman Dyah Pitaloka akhirnya harus merelakan nyawanya untuk adu kesaktian dengan Gajah Mada. Dan Dyah pun tidak mau takluk begitu saja. Ia pun mengeluarkan susuk menusuk diri sendiri. Darah pun bercucuran…

Saat peristiwa tragis itu Hayam Wuruk pun muncul. Agaknya terlambat sudah kedatangannya karena calon istrinya sudah terkulai lemah akibat tusukan. Ia menyesal karena telah menyebabkan hal yang semestinya tidak terjadi. Dyah Pitaloka akan dijadikan istri bukanlah upeti. Sedangkan Gajah Mada sendiri tidak diketahui rimbanya. Ia gagal, meruntuhkan semua bakti yang pernah ia lakukan untuk negaranya. Ketamakanlah yang menyebabkan semuanya.

Sumber: http://imponk.blogsome.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar